Sebelum Api Pariwisata Memusnahkan Bali Single Link
Pariwisata adalah api. Dia harus dikendalikan.
Kebudayaan merupakan potensi dalam pengembangan pariwisata di Bali. Pengembangan pariwisata bertumpu kepada kebudayaan biasa disebut pariwisata budaya. Kebudayaan di sini adalah kebudayaan di Bali baik dari segi adat istiadat, kesenian, kearifan lokal dan lain-lain yang mendukung pariwisata di Bali.
Selain kebudayaan, keindahan alam Bali juga menjadi tempat favorit untuk berwisata. Bali juga menawarkan keindahan alam dan kebudayaan yang sudah terkenal. Alam yang indah merupakan anugerah Tuhan untuk masyarakat Bali. Karena itu alam harus dijaga kelestariannya agar Bali tetap menjadi primadona tempat berwisata. Adapun budaya yang terkenal di Bali antara lain seni tari, lukis, dan patung. Semua budaya itu juga harus dijaga kelestariannya agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman.
Selain keindahan alam dan keunikan budayanya, Bali juga terkenal karena kesakralannya. Banyaknya Pura, tempat pemujaan bagi umat Hindu, membuat Bali mendapat sebutan Pulau Seribu Pura. Hal tersebut di ataslah yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke Bali.
Walaupun sempat luluh lantak karena dua kali serangan bom, namun pariwisata Bali dengan cepat bisa bangkit. Bahkan, pariwisata Bali berkembang sangat pesat khususnya di wilayah Bali selatan. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat dan terkonsentrasi ini dapat menimbulkan berbagai dampak, positif ataupun negatif.
Dampak positif perkembangan pariwisata di Bali antara lain memperluas lapangan pekerjaan, bertambahnya kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan, terpeliharanya kebudayaan Bali, dan dikenalnya kebudayaan Bali.
Adapun dampak negatif perkembangan pariwisata yang sangat pesat di Bali adalah terjadinya tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah Bali, timbulnya komersialisasi terhadap kebudayaan Bali, berkembangnya pola hidup konsumtif masyarakat Bali, terganggunya lingkungan hidup di Bali, makin terbatasnya lahan pertanian di Bali, pencemaran budaya, dan terdesaknya masyarakat Bali.
Selain dampak-dampak di atas, ada pula dampak positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat Bali. Misal, munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan dampak negatif yang sering dikhawatirkan terhadap budaya masyarakat Bali adalah adanya proses komodifikasi budaya, peniruan budaya dan profanisasi budaya (Shaw and Williams, dalam buku Ardika 2003:25).
Dampak pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal sebagaimana disebutkan di atas akibat tiga hal. Pertama, masyarakat ingin memberikan hasl karya seni atau kerajinan yang bermutu tinggi kepada para pembeli (wisatawan). Kedua, untuk menjaga citra dan menunjukan identitas budaya masyarakat lokal kepada wisatawan yang datang berkunjung. Ketiga, masyarakat ingin memperoleh uang akibat meningkatnya komersialisasi (Graburn 200 dalam Ardika 2003).
Subadra (2006) memberikan batasan yang lebih jelas mengenai dampak sosial-budaya pariwisata. Dampak positif sosial budaya pengembangan pariwisata dapat dilihat dari adanya pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal, seperti kegiatan keagamaan, adat-istiadat dan tradisi, dan diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan oleh masyarakat lokal.
Sedangkan dampak negatif sosial budaya pengembangan pariwisata dilihat dari respon masyarakat lokal terhadap keberadaan pariwisata seperti adanya perselisihan atau konflik kepentingan di antara para pemangku kebijakan, kebencian dan penolakan terhadap pengembangan pariwisata, dan munculnya masalah-masalah sosial seperti praktek perjudian dan prostitusi.
Adanya dampak positif pariwisata di Bali terhadap kebudayaan Bali menunjukan keselarasan ungkapan “Pariwisata untuk Kebudayaan”. Artinya pengembangan pariwisata benar-benar memberikan dampak positif terhadap perkembangan kebudayaan dalam arti luas. Ini artinya perkembangan pariwisata di Bali secara positif dapat memperkokoh kebudayaan Bali itu sendiri.
Eksploitasi
Di samping pariwisata dapat mengembangkan dan melestarikan kebudayaan, sekarang ini yang sering terjadi malah sebaliknya yaitu tereksploitasinya kebudayaan Bali yang berlebihan demi kepentingan pariwisata. Tentu hal ini akan berdampak negative terhadap perkembangan kebudayaan Bali, ini sering terjadi akibat adanya komersialisasi kebudayaan dalam pariwisata. Artinya, memfungsikan pola-pola kebudayaan seperti kesenian, tempat-tempat sejarah, adat-istiadat, dan monument-monumen diluar fungsi utamanya demi kepentingan pariwisata.
Perkembangan pariwisata memang dapat menumbuhkembangkan aspek-aspek kebudayaan seperti kesenian dan adat-istiadat di Bali. Akan tetapi, di balik itu ternyata muncul permasalahan akibat tereksploitasinya aspek-aspek kebudayaan tadi. Misalnya, muncul berbagai kesenian yang awalnya hanya dipentaskan untuk kepentingan upacara agama, kemudian dipertunjukan untuk kepentingan wisatawan. Demikian juga dijadikannnya tempat suci sebagai objek wisata. Ini merupakan fakta yang terjadinya komersialisasi budaya dalam pariwisata di Bali, karena sudah berubah dari fungsi utamanya.
Disamping terjadinya komersialisasi, tampaknya yang perlu juga menjadi pemikiran bersama adalah adanya pola pembinaan kebudayaan dalam arti luas sebagai pendukung kepariwisataan. Sudah menjadi kenyataan devisa yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata digunakan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Devisa itu dibagi-bagi kesemua aspek pembangunan, sehingga dirasakan sangat kecil kembali pada bidang kebudayaan. Padahal seccara nyata kebudayaan itulah sebagai penopang paling besar dalam pariwisata untuk mendatangkan devisa.
Kesan yang ditimbulkan dari kejadian tersebut adalah bukan Pariwisata untuk Kebudayaan tetapi Kebudayaan untuk Pariwisata hal ini dapat dilihat dari tereksploitasinya kebudayaan Bali untuk kepentingan promosi tanpa adanya usaha untuk menjaga dan melestarikannya. Sebagai contoh adalah banyaknya museum-museum di Bali yang tidak terawat, padahal museum ini merupakan asset budaya Bali yang tidak ternilai harganya. Hal lain adalah sekarang petani di Bali sudah banyak termakan bujuk rayu para investor agar petani di Bali mau menjual sawahnya untuk kepentingan pembangunan akomodasi pariwisata. Padahal pertanian di Bali merupakan salah satu budaya yang dimiliki karena disini ada Subak yaitu organisasi pengairan yang hanya ada di pulau Bali. Logikanya adalah apabila lahan pertanian sudah habis maka dengan sendirinya subak tersebut akan hilang.
Contoh lain adalah para penyedia jasa pariwisata/akomodasi pariwisata berlomba-lomba untuk menawarkan hotel, resort ataupun vila-vila dengan pemandangan yang indah dan fasilitas mewah yang bisa disewa apabila mereka berkunjung ke Bali, dan sebagai bonusnya para wisatawan yang datang ke Bali dapat menyaksiakan kebudayaan Bali. Dari logika ini maka Bali yang selama ini di kenal sebagai Pariwisata untuk kebudayaan berubah menjadi kebudayaan untuk pariwisata.
Masyarakat Bali seharusnya segera sadar dengan kejadian ini agar Bali tidak kehilangan jatidirinya, yaitu Bali sebagai pariwisata untuk kebudayaan yang dikenal karena keindahan alam, seni, budaya dan keramah-tamahan masyrakatnya, bukan kebudayaan untuk pariwisata dimana Bali dikenal karena hotel, resort atau vila-vila mewahnya. Dan jangan sampai Bali menjadi korban dari pesatnya perkembangan pariwisatanya sendiri karena tunduk kepada kepentingan investor.
Pariwisata itu adalah Api. Maka jika pariwisata tidak dikendalikan dengan kebijakan tepat, bukan berkah yang akan diterima, melainkan bencana. Kobaran api pariwisata akan membakar habis Bali hingga tak bersisa. Bahkan api pariwisata bisa menjelmakan Bali dari “The Last Paradise” (surga terakhir) menjadi “The New Hell” (neraka yang baru).
Sumber : bale bengong
0 Komentar untuk "Sebelum Api Pariwisata Memusnahkan Bali "
PERATURAN BERKOMENTAR :
1. Dilarang Spam.
2. Dilarang Memasang Link Aktif.
3. Dilarang Menghina, Sara, Dan P*rn.
4. Dilarang Promosi.
5. Komentar Harus Relevan Dengan Artikel.
Jika anda melanggar 5 point diatas, maka komentar anda akan kami hapus langsung tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Terima kasih dan selamat berblogging ria.